Rangka pandangan yang paling pas buat
menyingkap serangan non-militer asing di ranah kebudayaan suatu bangsa,
penulis Swedia Juri Lina kiranya sangat menarik untuk kita kupas lebih
dalam. Tak terkecuali buat negeri kita yang semakin menjauh dari Pakem
Nusantara dewasa ini.
Dalam buku Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry
(2004), Juri Lina menulis “Bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan
menjajah suatu negeri, antara lain:
(1) kaburkan sejarahnya;
(2) hancurkan bukti-bukti sejarah agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya;
(3) putuskan hubungan mereka dengan leluhur. Katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Kasus Reklamasi Teluk Jakarta, selain berbahaya dari segi ekonomi karena
hanya menguntungkan orang-orang berduit seraya meminggirkan orang-orang
miskin dan papa, secara budaya nilai kesejarahan Selat Sunda sebagai
mata-rantai penting Pantai Utara Jawa, sepertinya hendak dihilangkan.
Apalagi fakta kesejarahan membuktikan bahwa kekuatan asing dari Eropa
seperti Portugis, Belanda dan Inggris, datang ke bumi nusantara melalui
Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebelah Utara Jakarta.
Maka itu, dalam mencermati Proyek Meikarta maupun Reklamasi Teluk
Jakarta, hakikinya sama. Ada hal-hal berulang dalam kolonialisasi di
muka bumi yaitu pengaburan dan/atau pembengkokan sejarah leluhur di
negara koloni. Itulah agenda besarnya. Bukankah Proyek Meikarta juga
mengambil lokasi di simpul-simpul penting Pantai Utara Jawa?
Maka itu, dalam mencermati beberapa proyek dengan dalih Pembangunan
Infrastruktur Maritim atau semata dengan alasan bisnis properti, ada
baiknya memperhatikan apakah di balik proyek-proyek yang biasanya
terkesan semata bermotifkan ekonomi, ada potensi untuk tujuan-tujuan
menaklukkan suatu budaya lokal nusantara secara sistematis dan
terencana. Misal beberapa hal berikut ini:
Pertama, penghancuran bangunan fisik dengan dalih karena mau dibangun
suatu pusat perbelanjaan baru atau Pusat Perdagangan baru di sebuah
kawasan. Padahal agenda sesungguhnya adalah agar generasi baru tidak
dapat mengenali (bukti-bukti) kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain
tak bisa menarik hikmah dan mengutip nilai-nilai emas histori sebagai
teladan karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah;
Kedua, diputus hubungan historis(kesejarahan) dengan leluhur melalui
penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya bodoh, primitif, tidak
beradab, penyembah berhala, dan lain-lain. Maka dibangunnya sebuah pusat
kegiatan bisnis, perbelanjaan dan kompleks perumahan baru di sebuah
kawasan, didasari motif untuk membagun suatu lapisan masyarakat baru
yang modern, untuk dikontraskan dengan masyarakat tradisional berikut
para leluhurnya, bahwa masyarakat tradisional dan para leluhur sebelum
generasi yang sekarang, semua bodoh dan primitif. Padahal tradisional
dan primitif merupakan dua hal yang sama sekali berbeda.
Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Nah tahapan ini jelas akan
berjalan otomatis seiring dengan terwujudnya dua tahapan sebelumnya.
Boleh jadi tidak terlintas sama sekai di benak Juri Lina, bahwa agenda
sesungguhnya di balik maraknya proyek-proyek pembangunan fisik di era
Presiden Jokowi dalam beberapa tahun belakangan ini, adalah membuat
sejarah baru. Barang tentu, versi para penjajah berikut kompradornya.
Kegiatan semacam ini, dalam kerangka anaisis dan pandangan M Arief
Pranoto dan Hendrajit dalam bukunya Perang Asimetris dan Skema
Penjajahan Gaya Baru, merupakan salah satu aspek penting dari Perang
Asimetris. Perang Nir Militer untuk menaklukkan suatu negeri di sektor
ideologi, politik-ekonomi, dan sosial-budaya.
Dalam kerangka pemikiran dan pandangan seperti itu, menarik selintas
mengurai pandangan dari Antonio Gramsci, intelektual sayap kiri asal
Italia, mengenai konsepsi hegemoni.
Menurut Gramsci, kelas-kelas berkuasa memperioleh dominasi bukan dengan
kekuatan dan paksaan saja, melainkan juga menciptakan subjek-subjek yang
secara “sukarela” bersedia untuk dikuasai. Dalam hal ini, ideologi jadi
sangat penting untuk menciptakan kerelaan. Sebab ideologi bisa jadi
jembatan penghubung untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang diyakini
kebenarannya.
Celakanya, hegemoni biasanya dicapai bukan melalui manipulasi atau
indoktrinasi, namun dengan memanfaatkan kenalaran umum rakyat, dengan
menembus sistem makna-makna dan nilai-nilai yang mereka hayati. Di
sinilah kita perlu semakin waspada.
Sebab begitu ideologi berhasil merasuk ke pikiran dan jiwa masyarakat,
penjajahan bisa tercipta secara “sukarela” karena masyarakatnya merasa
tidak dalam keadaan dijajah atau terjajah. Pembangunan ekonomi seperti
Reklamasi Teluk Jakarta atau Proyek Meikarta, dipandang sebagai usaha
untuk memajukan masyarakat jadi modern dan metropolitan. Bukannya proyek
untuk menggusur rakyat miskin sehingga tidak punya tempat tinggal yang
permanen maupun pusat aktivitas kebudayaan dan keagamaan.
Dalam kerangka pandangan perang Asimetris, ideologi yang dijadikan
sebagai penghubung kepentingan-kepentingan kapitalisme dan imperialisme,
pada gilirannya bisa menggerakkan hubungan-hubungan sosial baru yang
menghancurkan nilai-nilai tradisional yang melatari hubungan sosial di
nusantara selama berabad-abad.
Lebih mengerikan lagi, ideologi sebagai alat Perang Asimetris,
berkemampuan mengorganisir massa manusia, dan bahkan menciptakan
wilayah-wilayah di atas mana manusia bergerak, memperoleh kesadaran atas
posisinya, serta perjuangan mereka (Gramsci, 1971).
Maka tak heran jika dalam suatu negara yang sedang bergerak menuju
ekonomi kapitalisme, rejim penjajah secara sengaja memprovokasi
prasangka rasial dengan menginstimewakan orang orang Cina rantai di bumi
nusantara, sedangkan masyarakat pribumi malah dimiskinkan dan
dipinggirkan. Bukankah fakta kesejarahan di Indonesia bahwa pemerintah
kolonial Belanda di Indonesia pernah mengistimewakan masyarakat Cina
rantau dan sekarang sepertinya masih tetap dilakukan terkait Reklamasi
Teluk Jakarta dan Meikarta? Bahwa menumbuh-suburkan prasangka rasialisme
sejatinya bukan berasal dari masyarakat pribumi melainkan justru
disulut dan dilestarikan oleh para penjajah dan kompradornya di
Indonesia? Dengan makna lain, untuk melestarikan kapitalisme dan
imperialisme, rasisme mereka pandang sebagai bagian penting yang melekat
dari kapitalisme dan imperialisme itu sendiri.
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.
Dimuat di aktual.com
0 Response to "Meikarta dan Reklamasi Teluk Jakarta: Serangan Asimetris Asing di Ranah Budaya"
Post a Comment