Tepat di hari peringatan
kemerdekaan RI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mendapat kritikan
tajam dari dunia internasional. Kali ini terkait prioritas kebijakannya
dalam pengentasan kesenjangan ekonomi. Kritikan yang dimuat majalah Forbes
edisi 16 Agustus 2017, menyebut bahwa Jokowi telah salah mendiagnosis
persoalan dasar di Indonesia. Menurut majalah itu, bukan pemerataan
pendapatan yang paling dibutuhkan bangsa ini, tetapi lebih pada
bagaimana upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Dalam pidato sidang tahunan di MPR, Jokowi mengungkapkan prioritas pemerintahannya terhadap pemerataan distribusi kekayaan negara. Seperti pemerataan harga BBM, sehingga warga Papua di pegunungan juga menikmati BBM dengan harga yang sama dengan masyarakat di Pulau Jawa. Pada titik tertentu, kesenjangan ekonomi yang terjadi di negeri ini memang menjadi persoalan. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, apa negara ini memiliki uang yang cukup untuk melakukan itu. Ingat, utang kita sudah semakin menumpuk.
Pada hari Jokowi berpidato itu, di tempat terpisah, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, membeberkan kondisi Rancangan APBN (RAPBN) 2017 yang dinilainya sudah tidak sehat. Ini karena adanya defisit keseimbangan primer senilai Rp 111,4 triliun. Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran bunga utang. Menurut dia, bila keseimbangan primer ini defisit, itu berarti pemerintah menarik utang untuk menutupi bunga utang. Sekali lagi, akibat uang tidak cukup, kita mesti berutang untuk membayar bunga utang. Apa masih normal kondisi begitu?
Kembali pada kritikan tadi, Forbes lalu menganalisis persoalan utama yang didera Indonesia, yang semestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah, yakni kemiskinan, bukan kesenjangan. Karena itulah, pengentasan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi rakyat, adalah hal yang paling dibutuhkan saat ini. Prioritas pemerintah harus lebih kepada menciptakan pemasukan yang banyak, bukan malah fokus mendistribusikan uang yang sedikit. Apabila pemerintah masih berharap bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen di 2018, maka paradigma berpikir soal masalah utama bangsa harus cepat diubah.
Logikanya cukup sederhana. Jika pemerataan yang lebih dikedepankan, maka rakyat akan berpikir, apa gunanya berjuang untuk maju, jika ganjarannya akan sama dengan mereka yang tidak berjuang. Jangan lupa, keadilan itu tidak berarti harus merata. Apalagi, pertumbuhan ekonomi itu pada dasarnya menciptakan kesenjangan. Sekali lagi, mana yang lebih kita butuhkan untuk saat sekarang, pemerataan harga-harga di seluruh pelosok daerah atau pengentasan kemiskinan yang terus tumbuh?
Tidak ada salahnya jika Jokowi dan para pembantunya berkaca kepada pemerintahan sebelumnya, yang harus diakui, cukup berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa, mengurangi utang dan menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen. Prestasi itu tidak terlepas dari kebijakan terukur yang diterapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pembangunan perekonomian. Pada era itu, kebijakan ekonomi SBY dikenal dengan four track strategy (empat jalur strategi).
Strategi empat jalur itu meliputi pembanguan ekonomi yang propertumbuhan (pro growth), propenciptaan lapangan pekerjaan (pro job), propengentasan kemiskinan (pro poor), dan propemeliharaan lingkungan (pro environment). Empat hal ini menjadi prioritas yang dijalankan bersamaan. Tidak seperti saat ini, yang hanya fokus terhadap pemerataan, tetapi menutup mata terhadap kemiskinan, pengangguran, dan juga lingkungan.
Pada masa SBY itu, strategi pro growth dilakukan melalui pengutamaan ekspor dan investasi. Strategi ini juga difokuskan pada sektor mikro, yang menjadi bidang usaha rakyat ekonomi bawah. Salah satunya dengan kepedulian terhadap pasar-pasar tradisional yang ada di seluruh penjuru nusantara. Selain itu juga membangun pusat promosi usaha kecil menengah, dan menyediakan bantuan permodalan melalui kredit usaha rakyat (KUR).
Strategi pro job, mencakup peningkatan kapasitas dan perlindungan tenaga kerja, serta sejumlah program di sektor riil yang didukung perbaikan iklim investasi, melalui kerangka regulasi, anggaran dan kerjasama dengan pihak swasta. Strategi ketiga, pro poor, di kelompokkan menjadi tiga cluster, yakni program bantuan sosial berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat, dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Ada tiga paket kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan ini. Pertama, bantuan dan perlindungan sosial, yang bertujuan membebaskan rakyat kecil berobat, mengenyam pendidikan dan menikmati beras murah. Kedua, memberdayakan kecamatan dan desa dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan ketiga, pemberian KUR bagi usaha kecil dan menengah.
Terakhir, strategi pro environment, bertujuan untuk antisipasi dampak perubahan iklim (climate change). Berkat kebijakan ini pulalah, SBY kemudian dikenal luas masyarakat internasional sebagai salah satu pemimpin dunia yang peduli terhadap lingkungan, terutama terkait masalah perubahan iklim yang tengah melanda.
Kini pemerintahan memang telah berganti. Kebijakan yang dulu dirasa cukup bagus mengangkat ekonomi, sudah tidak dipakai lagi. Diganti dengan strategi pembangunan yang dikebut sana-sini, dengan dalih ingin menciptakan pemerataan ekonomi. Parahnya, semua usaha itu dibiayai dengan dana utang luar negeri. Bandingkan saja, dalam 2,5 tahun Pemerintahan Jokowi, jumlah utang sudah sama dengan utang 10 tahun Pemerintahan SBY. Wajar jika kita jadi ngos-ngosan membayar cicilannya, sehingga untuk membayar bunga utang saja, kita harus menambah utang lagi.
Pemerintah saat ini tampaknya lebih serius mengurusi persoalan politik, sehingga tidak kunjung menunjukkan kepedulian serius terhadap pertumbuhan ekonomi guna mengentaskan kemiskinan. Jangan lupa, bad economics, bad politics. Penguasa yang gagal menangani ekonomi, jangan harap mendapat banyak dukungan politik dari rakyatnya. Jangan sampai perekonomian bangsa kita seperti kehilangan komando, karena para komandan lebih asyik bermain politik.
Oleh: Rafael Wildan
Dimuat di Politiktoday
Dalam pidato sidang tahunan di MPR, Jokowi mengungkapkan prioritas pemerintahannya terhadap pemerataan distribusi kekayaan negara. Seperti pemerataan harga BBM, sehingga warga Papua di pegunungan juga menikmati BBM dengan harga yang sama dengan masyarakat di Pulau Jawa. Pada titik tertentu, kesenjangan ekonomi yang terjadi di negeri ini memang menjadi persoalan. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, apa negara ini memiliki uang yang cukup untuk melakukan itu. Ingat, utang kita sudah semakin menumpuk.
Pada hari Jokowi berpidato itu, di tempat terpisah, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, membeberkan kondisi Rancangan APBN (RAPBN) 2017 yang dinilainya sudah tidak sehat. Ini karena adanya defisit keseimbangan primer senilai Rp 111,4 triliun. Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran bunga utang. Menurut dia, bila keseimbangan primer ini defisit, itu berarti pemerintah menarik utang untuk menutupi bunga utang. Sekali lagi, akibat uang tidak cukup, kita mesti berutang untuk membayar bunga utang. Apa masih normal kondisi begitu?
Kembali pada kritikan tadi, Forbes lalu menganalisis persoalan utama yang didera Indonesia, yang semestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah, yakni kemiskinan, bukan kesenjangan. Karena itulah, pengentasan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi rakyat, adalah hal yang paling dibutuhkan saat ini. Prioritas pemerintah harus lebih kepada menciptakan pemasukan yang banyak, bukan malah fokus mendistribusikan uang yang sedikit. Apabila pemerintah masih berharap bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen di 2018, maka paradigma berpikir soal masalah utama bangsa harus cepat diubah.
Logikanya cukup sederhana. Jika pemerataan yang lebih dikedepankan, maka rakyat akan berpikir, apa gunanya berjuang untuk maju, jika ganjarannya akan sama dengan mereka yang tidak berjuang. Jangan lupa, keadilan itu tidak berarti harus merata. Apalagi, pertumbuhan ekonomi itu pada dasarnya menciptakan kesenjangan. Sekali lagi, mana yang lebih kita butuhkan untuk saat sekarang, pemerataan harga-harga di seluruh pelosok daerah atau pengentasan kemiskinan yang terus tumbuh?
Tidak ada salahnya jika Jokowi dan para pembantunya berkaca kepada pemerintahan sebelumnya, yang harus diakui, cukup berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa, mengurangi utang dan menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen. Prestasi itu tidak terlepas dari kebijakan terukur yang diterapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pembangunan perekonomian. Pada era itu, kebijakan ekonomi SBY dikenal dengan four track strategy (empat jalur strategi).
Strategi empat jalur itu meliputi pembanguan ekonomi yang propertumbuhan (pro growth), propenciptaan lapangan pekerjaan (pro job), propengentasan kemiskinan (pro poor), dan propemeliharaan lingkungan (pro environment). Empat hal ini menjadi prioritas yang dijalankan bersamaan. Tidak seperti saat ini, yang hanya fokus terhadap pemerataan, tetapi menutup mata terhadap kemiskinan, pengangguran, dan juga lingkungan.
Pada masa SBY itu, strategi pro growth dilakukan melalui pengutamaan ekspor dan investasi. Strategi ini juga difokuskan pada sektor mikro, yang menjadi bidang usaha rakyat ekonomi bawah. Salah satunya dengan kepedulian terhadap pasar-pasar tradisional yang ada di seluruh penjuru nusantara. Selain itu juga membangun pusat promosi usaha kecil menengah, dan menyediakan bantuan permodalan melalui kredit usaha rakyat (KUR).
Strategi pro job, mencakup peningkatan kapasitas dan perlindungan tenaga kerja, serta sejumlah program di sektor riil yang didukung perbaikan iklim investasi, melalui kerangka regulasi, anggaran dan kerjasama dengan pihak swasta. Strategi ketiga, pro poor, di kelompokkan menjadi tiga cluster, yakni program bantuan sosial berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat, dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Ada tiga paket kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan ini. Pertama, bantuan dan perlindungan sosial, yang bertujuan membebaskan rakyat kecil berobat, mengenyam pendidikan dan menikmati beras murah. Kedua, memberdayakan kecamatan dan desa dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan ketiga, pemberian KUR bagi usaha kecil dan menengah.
Terakhir, strategi pro environment, bertujuan untuk antisipasi dampak perubahan iklim (climate change). Berkat kebijakan ini pulalah, SBY kemudian dikenal luas masyarakat internasional sebagai salah satu pemimpin dunia yang peduli terhadap lingkungan, terutama terkait masalah perubahan iklim yang tengah melanda.
Kini pemerintahan memang telah berganti. Kebijakan yang dulu dirasa cukup bagus mengangkat ekonomi, sudah tidak dipakai lagi. Diganti dengan strategi pembangunan yang dikebut sana-sini, dengan dalih ingin menciptakan pemerataan ekonomi. Parahnya, semua usaha itu dibiayai dengan dana utang luar negeri. Bandingkan saja, dalam 2,5 tahun Pemerintahan Jokowi, jumlah utang sudah sama dengan utang 10 tahun Pemerintahan SBY. Wajar jika kita jadi ngos-ngosan membayar cicilannya, sehingga untuk membayar bunga utang saja, kita harus menambah utang lagi.
Pemerintah saat ini tampaknya lebih serius mengurusi persoalan politik, sehingga tidak kunjung menunjukkan kepedulian serius terhadap pertumbuhan ekonomi guna mengentaskan kemiskinan. Jangan lupa, bad economics, bad politics. Penguasa yang gagal menangani ekonomi, jangan harap mendapat banyak dukungan politik dari rakyatnya. Jangan sampai perekonomian bangsa kita seperti kehilangan komando, karena para komandan lebih asyik bermain politik.
Oleh: Rafael Wildan
Dimuat di Politiktoday
0 Response to "Dikritik Dunia Internasional, Jokowi Dianggap Salah Diagnosis Persoalan Bangsa"
Post a Comment