Oleh: Ahmad Fahrur Rozi
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat, pertengahan 2016
lalu, saya lupa tanggal persisnya, menulis opini tentang Korea Utara
(Korut) di harian Sindo.
Pyongyang ibu kota Korut digambarkan sangat cantik. Semuanya terawat rapi dan serba teratur. Warganya tampak homogen, kaku dan disiplin. Bahkan pakaian termasuk gaya rambut diatur negara. Ini tentu saja berhubungan dengan ideologi negara dan kontrol tangan besi sang pemimpin tertinggi Kim Jong-Un (34) yang bertindak diktator otoriterian.
Hal senada disampaikan Daniel Tudor dan James Pearson, koresponden The Economist untuk Korea, dalam bukunya North Korea Confidential, Private Markets, Fashion Trends, Prison Camps, Dissenters and Defectors (2015). Perilaku warga Korut dikontrol penuh oleh negara. Bahkan untuk tersenyum atau menangis di depan publik tidak bisa sembarangan. Sampai-sampai pada saat menyimpan uang yang tertera foto pendiri Korut, Kim Il-sung, tidak boleh dilipat dan disimpan disaku celana.
Lalu, jika melewati patung Kim Il-sung (1912–1994), mesti berhenti sejenak untuk memberikan hormat. Kalau tidak, bisa-bisa akan mendapatkan hukuman karena antar mereka saling bertindak sebagai mata-mata negara terhadap sesamanya.
Penguasa Korut berusaha meyakinkan rakyatnya bahwa negara mereka paling indah, paling sejahtera dan paling unggul. Dengan memblokir akses internet, melarang media sosial (medsos) dan menyensor konten pemberitaan, rakyat dihalangi untuk mengetahui dunia luar sehingga praktis Korut merupakan negara dan masyarakat tertutup.
...Pada saat Korut disambangi angin perubahan positif, Indonesia justru sebaliknya. Nampak setapak demi setapak mengikut jejak Korut...Korut sejauh ini adalah satu-satunya negara yang masih setia melaksanakan doktrin Marxisme- Leninisme, sementara kompatriotnya Uni Soviet sudah bubar karena hantaman gelombang kapitalisme. Pun juga China dan Kuba yang sudah mulai mengadopsi model kapitalisme Barat.
Namun demikian, angin perubahan juga sepertinya bertiup ke arah Korea Utara. Seiring ambruknya Uni Soviet, China yang sudah memeluk kapitalisme, dan Kuba yang saat ini, tampak tidak bisa hidup tanpa Amerika. Maka, Korut tinggal menunggu waktu.
Gelombang perubahan tidak bisa dicegah.
"Saya melihat di museum pemimpin besar Korut ada laptop Apple yang konon
dulu digunakan Kim Jong-Il (ayah Kim Jong-Un). Di Pamunjeom, ada gedung
menggunakan pendingin ruangan merek Samsung,” cerita seorang teman,
Putut Prabantoro, yang pernah berkunjung ke Pyongyang.
+++
Pada saat Korut disambangi angin perubahan positif, Indonesia justru sebaliknya. Nampak setapak demi setapak mengikut jejak Korut. Telah tampak bibit diktatorisme ditandai dengan terbitnya Perpu No.2/2017 yang mana menjadi instrumen untuk mrmbredel ormas mana saja dan siapa saja yang tidak disukai penguasa, tanpa perlu lagi melalui putusan pengadilan. Tidak cukup hanya dibredel, seluruh anggotanya bahkan bisa dibui seumur hidup (perpu pasal 82A).
Pelan tapi pasti, Indonesia makin berasa Korea Utara. Akankah kita biarkan begitu saja?!
Sumber: Voa-Islam
0 Response to "Saat Indonesia 'Rasa' Korea Utara Menjelma Nyata"
Post a Comment