Oleh Hersubeno Arief *)
Presiden Jokowi baru saja menghabiskan akhir pekannya di Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat. Seperti biasa kunjungan yang dilakukan Jumat-Sabtu ( 9-10/6) mengundang kehebohan.
Mulai dari bagi-bagi sepeda, sampai sepatu yang dikenakan Jokowi menjadi sorotan dan viral di media sosial.
Jokowi tampil seperti biasa dengan pakaian kebesarannya, kemeja putih tangan panjang digulung. Yang agak berbeda adalah celana jeans dan sepatu sneaker yang dikenakan.
Sebuah media menyebut sepatu yang dikenakan Jokowi adalah merk Nike Lunarepic Low Flyknit 2. Keluaran tahun 2017, sepatu yang biasa digunakan untuk lari itu dibanderol dengan harga sekitar USD 130-140 atau sekitar Rp 2 juta. Harga yang lumayan “mahal” jika dibandingkan dengan sepatu produksi Cibaduyut.
Seorang Presiden bertemu dengan warganya, sesungguhnya adalah hal yang biasa. Namun kunjungan ke Tasikmalaya dan Ciamis yang dikenal sebagai daerah basis santri itu, tentu bukanlah sekedar kunjungan biasa.
Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan menyebut kunjungan Jokowi dimaksudkan sebagai upaya penguatan nilai dan peran Pancasila. Sebab di kedua wilayah tersebut banyak potensi radikal yang mengarah ke intoleransi.
Diksi yang dipilih oleh Kapolda Jabar “radikal” dan “intoleran” cukup menarik. Radikal dan intoleran adalah stigma yang dalam beberapa bulan terakhir sedang coba disematkan oleh penguasa, terutama aparat kepolisian dalam menghadapi berbagai aksi umat Islam menuntut keadilan, khususnya kasus penistaan agama oleh Ahok.
Presiden Jokowi sendiri tidak secara tegas menggunakan diksi itu. Hanya saja dalam sambutannya ketika didaulat seusai menunaikan salat Jumat di masjid Agung Kota Tasikmalaya, Presiden mengingatkan pentingnya menjaga keberagaman. Ratusan suku, bahasa, ribuan pulau, kata Presiden, adalah anugerah dari Allah SWT yang harus dijaga.
Dua diksi yang berbeda, tapi sesungguhnya tujuannya sama. Kapolda yang dikenal suka blak-blakan lebih memilih kata yang lugas, sementara Jokowi yang merupakan priyayi Mataram memilih kata yang dibungkus dan tidak langsung.
Pasti Anda belum lupa dengan aksi fenomenal dan heroik long march para santri Ciamis ke Jakarta jelang Aksi Bela Islam (ABI) III 212?
Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Tasikmalaya dan Ciamis ini setidaknya bisa ditafsirkan sebagai kunjungan politik dengan target ganda. Pertama, merebut dan memenangkan kembali hati umat Islam. Kedua, menundukkan wilayah Jabar yang mempunyai suara pemilih terbesar dalam Pilpres 2019.
Sebuah langkah politik yang jenial, sangat terukur dan terencana.
Ibarat bubur ayam, kawasan Priangan Timur ini, adalah daerah hot spot, pusatnya bubur panas! Kota dan Kabupaten Tasikmalaya adalah wilayah yang disebut sebagai kota dan kabupaten dengan seribu pesantren.
Di Kota Tasikmalaya yang penduduknya berjumlah 800 ribu jiwa, terdapat 91 pesantren. Di Kecamatan Cibereum saja ada 32 pesantren. Sementara di Kawalu ada 11 pesantren.
Di Kabupaten Tasikmalaya jumlah pesantrennya jauh lebih banyak lagi. Dengan jumlah penduduk sekitar 1.8 juta jiwa pesantren salaf , jumlahnya ada 600an.
Selain itu di Kota dan KabupatenTasikmalaya ada sejumlah pesantren tua, besar dan sangat berpengaruh. Pesantren itu adalah Pesantren Riyadhul Ulum wadda’wah di Cibereum berdiri tahun 1864. Pesantren Zumrotul Mutaqien Gunung Paridi di Desa Sukamenak didirikan tahun 1880. Pesantren Suryalaya yang didirikan tahun 1905 dan Pesantren Cipasung yang didirikan tahun 1931.
Ciamis juga memiliki jumlah pesantren yang tak kalah banyaknya. Dengan jumlah penduduk 1.8 juta jiwa, setidaknya ada 373 pesantren di Ciamis.
Dalam kunjungannya di Tasik dan Ciamis, Presiden Jokowi mengunjungi sejumlah pesantren yang mempunyai pengaruh kuat. Ponpes Cipasung dan Miftahul Huda di Kabupaten Tasikmalaya, Ponpes Darussalam dan Miftahul Ulum di Kabupaten Ciamis.
Presiden Jokowi tampak sangat percaya diri dalam kunjungannya kali ini. Gaya berpakaiannya yang santai dan bahasa tubuhnya menunjukkan hal itu. Jokowi jika tidak perlu merasa harus “mendadak santri” dengan menggunakan sarung dan jas, seperti ketika dia berkunjung ke Pekalongan, Jawa Tengah.
Mengapa Jokowi tampak sangat pede ketika berkunjung ke kandang maung (harimau) di Priangan Timur ini? Jawabannya karena Jokowi sudah terlebih dahulu “memakan” bubur yang lebih dingin di pinggir-pinggirnya.
Sebelum ke Tasikmalaya dan Ciamis, Jokowi pada bulan April lalu telah mengunjungi Pesantren Buntet di Cirebon.
Di pesantren besar dan cukup berpengaruh ini Jokowi memberi bantuan sebesar Rp 6.5 miliar untuk pembangunan gedung dan fasilitas pendidikan. Dananya berasal dari program CSR yang digalang oleh kementrian BUMN.
Di Cirebon juga terdapat Pesantren Kempek, tempat kelahiran Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Said Agil Siradj. PB NU di bawah Agil Siradj menjadi ormas Islam terbesar yang selalu menjadi penyokong berbagai kebijakan Jokowi, termasuk ketika berlangsung berbagai Aksi Bela Islam (ABI).
Pada bulan yang sama Jokowi juga berkunjung ke Pesantren Hikamussalafiyah di Purwakarta. Jadi kunjungan ini telah dikondisikan secara cukup matang.
Jokowi tidak datang dengan tangan kosong. Selain bagi-bagi sembako dan sepeda, oleh-oleh terbesar bagi warga Tasikmalaya adalah keputusannya menjadikan Pangkalan Udara Wiriadinata, sebagai bandara komersial.
Keputusan Jokowi yang hanya memberi waktu selama dua minggu agar pangkalan udara tersebut juga berfungsi sebagai bandara komersial, pastilah disambut dengan sangat gembira. Sebagai sentral industri garmen, Tasikmalaya relatif terisolir dan hanya mengandalkan transportasi darat.
Inilah kelebihan seorang presiden incumbent yang bisa mengubah birokrasi dan berbagai kebijakan pembangunan sebagai bekal kampanye lebih awal. Sebuah keuntungan yang tidak akan dimiliki oleh penantangnya.
Sebagai Presiden dan Panglima tertinggi TNI, Jokowi punya kewenangan semacam itu.
Kunjungan Ke Tasikmalaya dan Ciamis juga merupakan isyarat Jokowi kembali merangkul umat Islam, khususnya kalangan nadhliyin yang berada di luar garis PB NU.
Kendati mayoritas pesantren di kawasan ini dikelola oleh para kyai NU, namun haluan politik dan kulturalnya berbeda.
Di Tasikmalaya, baik kota dan kabupaten, secara tradisi bupati dan walikotanya dikuasai oleh kader PPP. PKB yang selama ini dinilai sebagai sayap resmi politik PB NU tidak pernah berhasil unjuk gigi.
Secara kultural warga NU di Jabar juga berbeda. Hubungan mereka dengan organisasi Islam lainnya relatif cair dan terbuka. Hal itu menjelaskan mengapa seorang kader PKS seperti Ahmad Heryawan mendapat dukungan luas dari mereka.
Pada Pilpres 2014 perolehan suara Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla kalah telak di Jabar. Jokowi hanya memperoleh 40.22 persen kalah jauh dibandingkan dengan perolehan suara Prabowo-Hatta sebesar 59.78 persen.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 46 juta, Jabar mempunyai mata pilih sekitar 38 juta, terbesar di Indonesia. Jadi bila ingin kembali memenangkan kursi presiden, maka Jabar harus dapat ditundukkan.
Persiapan Jokowi cukup matang. Dimulai dengan mencari figur gubernur yang satu gerbong dengannya. Harus diakui kekalahan Jokowi pada Pilpres 2014 ada andil besar Gubernur Ahmad Heryawan. Sebagai kader PKS, Aher all out memenangkan Prabowo-Hatta mitra koalisi PKS di Koalisi Merah Putih (KMP).
Agar pertempuran bisa lebih efektif dan dimenangkan, Jokowi memerlukan proxy yang bisa bergerak dari dalam arena lawan.
Semula yang dipilih menjadi proxy adalah Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK). Melalui Nasdem partai pendukung Jokowi, RK sudah bersedia dan berkomitmen untuk memenangkan Jokowi bila terpilih sebagai gubernur pada Pilkada 2018.
Namun belakangan RK rupanya mulai meriang dan masuk angin. Curhatnya yang menyatakan kemungkinan tidak akan maju dalam Pilkada Jabar, dinilai sebagai sebuah isyarat adanya perubahan arah angin politik di Jakarta.
Sebagai seorang presiden incumbent, Jokowi tidak akan kesulitan untuk mencari alternatif proxy. Dengan sumber daya sosial, politik, dan finansial yang melimpah dipastikan akan banyak yang mencoba mendekati dan bersedia bersekutu dengan Jokowi.
Pertarungan politik di Bumi Priangan pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 dipastikan akan berlangsung sangat sengit dan keras. Ibarat sebuah musik, iramanya tidak akan mendayu-dayu dan menghanyutkan seperti bunyi seruling Sunda.
*) Konsultan Media dan Politik
Presiden Jokowi baru saja menghabiskan akhir pekannya di Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat. Seperti biasa kunjungan yang dilakukan Jumat-Sabtu ( 9-10/6) mengundang kehebohan.
Mulai dari bagi-bagi sepeda, sampai sepatu yang dikenakan Jokowi menjadi sorotan dan viral di media sosial.
Jokowi tampil seperti biasa dengan pakaian kebesarannya, kemeja putih tangan panjang digulung. Yang agak berbeda adalah celana jeans dan sepatu sneaker yang dikenakan.
Sebuah media menyebut sepatu yang dikenakan Jokowi adalah merk Nike Lunarepic Low Flyknit 2. Keluaran tahun 2017, sepatu yang biasa digunakan untuk lari itu dibanderol dengan harga sekitar USD 130-140 atau sekitar Rp 2 juta. Harga yang lumayan “mahal” jika dibandingkan dengan sepatu produksi Cibaduyut.
Seorang Presiden bertemu dengan warganya, sesungguhnya adalah hal yang biasa. Namun kunjungan ke Tasikmalaya dan Ciamis yang dikenal sebagai daerah basis santri itu, tentu bukanlah sekedar kunjungan biasa.
Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan menyebut kunjungan Jokowi dimaksudkan sebagai upaya penguatan nilai dan peran Pancasila. Sebab di kedua wilayah tersebut banyak potensi radikal yang mengarah ke intoleransi.
Diksi yang dipilih oleh Kapolda Jabar “radikal” dan “intoleran” cukup menarik. Radikal dan intoleran adalah stigma yang dalam beberapa bulan terakhir sedang coba disematkan oleh penguasa, terutama aparat kepolisian dalam menghadapi berbagai aksi umat Islam menuntut keadilan, khususnya kasus penistaan agama oleh Ahok.
Presiden Jokowi sendiri tidak secara tegas menggunakan diksi itu. Hanya saja dalam sambutannya ketika didaulat seusai menunaikan salat Jumat di masjid Agung Kota Tasikmalaya, Presiden mengingatkan pentingnya menjaga keberagaman. Ratusan suku, bahasa, ribuan pulau, kata Presiden, adalah anugerah dari Allah SWT yang harus dijaga.
Dua diksi yang berbeda, tapi sesungguhnya tujuannya sama. Kapolda yang dikenal suka blak-blakan lebih memilih kata yang lugas, sementara Jokowi yang merupakan priyayi Mataram memilih kata yang dibungkus dan tidak langsung.
Pasti Anda belum lupa dengan aksi fenomenal dan heroik long march para santri Ciamis ke Jakarta jelang Aksi Bela Islam (ABI) III 212?
Kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Tasikmalaya dan Ciamis ini setidaknya bisa ditafsirkan sebagai kunjungan politik dengan target ganda. Pertama, merebut dan memenangkan kembali hati umat Islam. Kedua, menundukkan wilayah Jabar yang mempunyai suara pemilih terbesar dalam Pilpres 2019.
Sebuah langkah politik yang jenial, sangat terukur dan terencana.
Teori makan bubur panas
Anda pasti sering makan bubur ayam? Dalam kondisi panas, bubur ayam sangat menggiurkan. Untuk memakannya perlu kesabaran. Anda harus menunggu sampai bubur menjadi sedikit lebih hangat. Namun kalau sudah tidak sabar, ada cara lain, yakni memulai makan buburnya dari pinggir-pinggirnya.Ibarat bubur ayam, kawasan Priangan Timur ini, adalah daerah hot spot, pusatnya bubur panas! Kota dan Kabupaten Tasikmalaya adalah wilayah yang disebut sebagai kota dan kabupaten dengan seribu pesantren.
Di Kota Tasikmalaya yang penduduknya berjumlah 800 ribu jiwa, terdapat 91 pesantren. Di Kecamatan Cibereum saja ada 32 pesantren. Sementara di Kawalu ada 11 pesantren.
Di Kabupaten Tasikmalaya jumlah pesantrennya jauh lebih banyak lagi. Dengan jumlah penduduk sekitar 1.8 juta jiwa pesantren salaf , jumlahnya ada 600an.
Selain itu di Kota dan KabupatenTasikmalaya ada sejumlah pesantren tua, besar dan sangat berpengaruh. Pesantren itu adalah Pesantren Riyadhul Ulum wadda’wah di Cibereum berdiri tahun 1864. Pesantren Zumrotul Mutaqien Gunung Paridi di Desa Sukamenak didirikan tahun 1880. Pesantren Suryalaya yang didirikan tahun 1905 dan Pesantren Cipasung yang didirikan tahun 1931.
Ciamis juga memiliki jumlah pesantren yang tak kalah banyaknya. Dengan jumlah penduduk 1.8 juta jiwa, setidaknya ada 373 pesantren di Ciamis.
Dalam kunjungannya di Tasik dan Ciamis, Presiden Jokowi mengunjungi sejumlah pesantren yang mempunyai pengaruh kuat. Ponpes Cipasung dan Miftahul Huda di Kabupaten Tasikmalaya, Ponpes Darussalam dan Miftahul Ulum di Kabupaten Ciamis.
Presiden Jokowi tampak sangat percaya diri dalam kunjungannya kali ini. Gaya berpakaiannya yang santai dan bahasa tubuhnya menunjukkan hal itu. Jokowi jika tidak perlu merasa harus “mendadak santri” dengan menggunakan sarung dan jas, seperti ketika dia berkunjung ke Pekalongan, Jawa Tengah.
Mengapa Jokowi tampak sangat pede ketika berkunjung ke kandang maung (harimau) di Priangan Timur ini? Jawabannya karena Jokowi sudah terlebih dahulu “memakan” bubur yang lebih dingin di pinggir-pinggirnya.
Sebelum ke Tasikmalaya dan Ciamis, Jokowi pada bulan April lalu telah mengunjungi Pesantren Buntet di Cirebon.
Di pesantren besar dan cukup berpengaruh ini Jokowi memberi bantuan sebesar Rp 6.5 miliar untuk pembangunan gedung dan fasilitas pendidikan. Dananya berasal dari program CSR yang digalang oleh kementrian BUMN.
Di Cirebon juga terdapat Pesantren Kempek, tempat kelahiran Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Said Agil Siradj. PB NU di bawah Agil Siradj menjadi ormas Islam terbesar yang selalu menjadi penyokong berbagai kebijakan Jokowi, termasuk ketika berlangsung berbagai Aksi Bela Islam (ABI).
Pada bulan yang sama Jokowi juga berkunjung ke Pesantren Hikamussalafiyah di Purwakarta. Jadi kunjungan ini telah dikondisikan secara cukup matang.
Jokowi tidak datang dengan tangan kosong. Selain bagi-bagi sembako dan sepeda, oleh-oleh terbesar bagi warga Tasikmalaya adalah keputusannya menjadikan Pangkalan Udara Wiriadinata, sebagai bandara komersial.
Keputusan Jokowi yang hanya memberi waktu selama dua minggu agar pangkalan udara tersebut juga berfungsi sebagai bandara komersial, pastilah disambut dengan sangat gembira. Sebagai sentral industri garmen, Tasikmalaya relatif terisolir dan hanya mengandalkan transportasi darat.
Inilah kelebihan seorang presiden incumbent yang bisa mengubah birokrasi dan berbagai kebijakan pembangunan sebagai bekal kampanye lebih awal. Sebuah keuntungan yang tidak akan dimiliki oleh penantangnya.
Sebagai Presiden dan Panglima tertinggi TNI, Jokowi punya kewenangan semacam itu.
Kunjungan Ke Tasikmalaya dan Ciamis juga merupakan isyarat Jokowi kembali merangkul umat Islam, khususnya kalangan nadhliyin yang berada di luar garis PB NU.
Kendati mayoritas pesantren di kawasan ini dikelola oleh para kyai NU, namun haluan politik dan kulturalnya berbeda.
Di Tasikmalaya, baik kota dan kabupaten, secara tradisi bupati dan walikotanya dikuasai oleh kader PPP. PKB yang selama ini dinilai sebagai sayap resmi politik PB NU tidak pernah berhasil unjuk gigi.
Secara kultural warga NU di Jabar juga berbeda. Hubungan mereka dengan organisasi Islam lainnya relatif cair dan terbuka. Hal itu menjelaskan mengapa seorang kader PKS seperti Ahmad Heryawan mendapat dukungan luas dari mereka.
Perebutan suara di Pilpres 2019
Selain berhasil “menghabiskan” bubur panas, kunjungan kerja Jokowi kali ini juga bisa dilihat sebagai langkah sistematis untuk memenangkan perebutan suara pada Pilpres 2019 di Jabar.Pada Pilpres 2014 perolehan suara Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla kalah telak di Jabar. Jokowi hanya memperoleh 40.22 persen kalah jauh dibandingkan dengan perolehan suara Prabowo-Hatta sebesar 59.78 persen.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 46 juta, Jabar mempunyai mata pilih sekitar 38 juta, terbesar di Indonesia. Jadi bila ingin kembali memenangkan kursi presiden, maka Jabar harus dapat ditundukkan.
Persiapan Jokowi cukup matang. Dimulai dengan mencari figur gubernur yang satu gerbong dengannya. Harus diakui kekalahan Jokowi pada Pilpres 2014 ada andil besar Gubernur Ahmad Heryawan. Sebagai kader PKS, Aher all out memenangkan Prabowo-Hatta mitra koalisi PKS di Koalisi Merah Putih (KMP).
Agar pertempuran bisa lebih efektif dan dimenangkan, Jokowi memerlukan proxy yang bisa bergerak dari dalam arena lawan.
Semula yang dipilih menjadi proxy adalah Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK). Melalui Nasdem partai pendukung Jokowi, RK sudah bersedia dan berkomitmen untuk memenangkan Jokowi bila terpilih sebagai gubernur pada Pilkada 2018.
Namun belakangan RK rupanya mulai meriang dan masuk angin. Curhatnya yang menyatakan kemungkinan tidak akan maju dalam Pilkada Jabar, dinilai sebagai sebuah isyarat adanya perubahan arah angin politik di Jakarta.
Sebagai seorang presiden incumbent, Jokowi tidak akan kesulitan untuk mencari alternatif proxy. Dengan sumber daya sosial, politik, dan finansial yang melimpah dipastikan akan banyak yang mencoba mendekati dan bersedia bersekutu dengan Jokowi.
Pertarungan politik di Bumi Priangan pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 dipastikan akan berlangsung sangat sengit dan keras. Ibarat sebuah musik, iramanya tidak akan mendayu-dayu dan menghanyutkan seperti bunyi seruling Sunda.
*) Konsultan Media dan Politik
0 Response to "Tafsir Politik Kunjungan Jokowi ke Tasik dan Ciamis"
Post a Comment