Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan masih rendahnya rasio pajak di Indonesia. Ia mengungkapkan, hingga tahun 2016 lalu Indonesia baru bisa mengumpulkan penerimaan pajak sebesar 10,6 persen dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB). Menurutnya, angka ini masih tergolong rendah dibanding raihan rasio pajak negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang tembus 15 persen.
Sri Mulyani menilai, salah satu alasan nomor wahid mengapa Indonesia belum bisa mengumpulkan penerimaan pajak secara optimal adalah masih banyaknya masyarakat yang bekerja di sektor informal. Hal ini berbeda dengan sektor formal yang sasaran perpajakannya jelas.
Sementara alasan lainnya, adalah butuhnya reformasi perpajakan di internal otoritas pajak dan perlunya perbaikan sistem teknologi informasi di kantor pajak.
"Lalu, ada yang bilang, jangan sampai ada korupsi. Itu benar. Namun, bahwa kesadaran masyarakat Indonesia secara umum untuk membayar pajak masih rendah, itu sangat benar juga," ujar Sri di Gedung Mar'ie Muhammad Kantor Pusat Ditjen Pajak, seperti dilansir Republika.co.id, Rabu (21/6).
Minimnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, lanjutnya, sebetulnya tak hanya terjadi di Indonesia. Praktik penghindaran pajak dan pengelakan pajak terjadi secara luas di seluruh dunia.
Hal itulah mengapa negara-negara anggota G20 sejak tahun 2009 merumuskan satu jurus untuk bisa saling bertukar informasi keuangan atas para pengemplang pajak. Tujuannya sederhana, agar para pengemplang pajak tidak lagi bisa mempraktikkan tindak kejahatannya dan penerimaan negara bisa meningkat.
"Yang diam-diam ingin tetap jadi Warga Negara AS namun tak mau bayar pajak di AS, WNI enggak mau bayar pajak di Indonesia banyak sekali. Pegang paspornya, pegang KTP, Saya Indonesia, Saya Pancasila, Saya Tidak Bayar Pajak. Itu banyak," ujar Sri melanjutkan.
Sri menyebutkan, kepatuhan untuk membayar pajak bisa diwujudkan dari lirik lagu Indonesia Raya, di mana ada lirik yang berbunyi "Tanahku Negeriku yang Kuncinta". Menurutnya, wujud rasa cinta terhadap bangsa dan negara bisa diwujudkan dalam memberikan kontribusi perpajakan, yang nantinya bisa digunakan untuk sumber pembangunan di daerah.
"Pajak adalah minimum requirement untuk bisa katakan Anda cinta untuk Indonesia. Makanya dibilang Saya Indonesia, Saya Pancasila, dan Saya Bayar Pajak," katanya.
Ungkapan Sri ini diucapkan di depan perwakilan dari Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan pelaku pasar modal.
Sri mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan di hadapan para pelaku industri pasar modal. Aturan ini dibuat sebagai komitmen Indonesia dalam mengikuti era keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan (AEoI) yang dimulai pada 2018 mendatang.
"Anda di BI melalui BI, di OJK, di custodian, BEI, semua ada peranan masing-masing (untuk menggenjot kesadaran perpajakn)," katanya.
Pertukaran informasi keuangan dengan negara lain menurut Sri merupakan solusi tepat agar pemerintah memiliki data lengkap mengenai struktur pajak negeri ini. Apalagi, sebelumnya DPR sempat mendorong pemerintah untuk bisa menaikkan rasio pajak menjadi 13 persen di tahun 2018. Angka sebesar itu, lanjut Sri, bisa dilakukan diwujudkan bila pemerintah benar-benar memahami seluk-beluk pembayar pajak.
"Kalau dipaksa, saya kejar yang informasinya saya punya saja. Artinya, ya saya kejar-kejar ke wajib pajak yang sekarang sudat taat. Apa itu adil? Sangat tidak adil. Sama saja berburu di kebun binatang. Sementara yang lain bisa melakukan penghindaran," katanya.
Sri Mulyani menilai, salah satu alasan nomor wahid mengapa Indonesia belum bisa mengumpulkan penerimaan pajak secara optimal adalah masih banyaknya masyarakat yang bekerja di sektor informal. Hal ini berbeda dengan sektor formal yang sasaran perpajakannya jelas.
Sementara alasan lainnya, adalah butuhnya reformasi perpajakan di internal otoritas pajak dan perlunya perbaikan sistem teknologi informasi di kantor pajak.
"Lalu, ada yang bilang, jangan sampai ada korupsi. Itu benar. Namun, bahwa kesadaran masyarakat Indonesia secara umum untuk membayar pajak masih rendah, itu sangat benar juga," ujar Sri di Gedung Mar'ie Muhammad Kantor Pusat Ditjen Pajak, seperti dilansir Republika.co.id, Rabu (21/6).
Minimnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, lanjutnya, sebetulnya tak hanya terjadi di Indonesia. Praktik penghindaran pajak dan pengelakan pajak terjadi secara luas di seluruh dunia.
Hal itulah mengapa negara-negara anggota G20 sejak tahun 2009 merumuskan satu jurus untuk bisa saling bertukar informasi keuangan atas para pengemplang pajak. Tujuannya sederhana, agar para pengemplang pajak tidak lagi bisa mempraktikkan tindak kejahatannya dan penerimaan negara bisa meningkat.
"Yang diam-diam ingin tetap jadi Warga Negara AS namun tak mau bayar pajak di AS, WNI enggak mau bayar pajak di Indonesia banyak sekali. Pegang paspornya, pegang KTP, Saya Indonesia, Saya Pancasila, Saya Tidak Bayar Pajak. Itu banyak," ujar Sri melanjutkan.
Sri menyebutkan, kepatuhan untuk membayar pajak bisa diwujudkan dari lirik lagu Indonesia Raya, di mana ada lirik yang berbunyi "Tanahku Negeriku yang Kuncinta". Menurutnya, wujud rasa cinta terhadap bangsa dan negara bisa diwujudkan dalam memberikan kontribusi perpajakan, yang nantinya bisa digunakan untuk sumber pembangunan di daerah.
"Pajak adalah minimum requirement untuk bisa katakan Anda cinta untuk Indonesia. Makanya dibilang Saya Indonesia, Saya Pancasila, dan Saya Bayar Pajak," katanya.
Ungkapan Sri ini diucapkan di depan perwakilan dari Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan pelaku pasar modal.
Sri mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan di hadapan para pelaku industri pasar modal. Aturan ini dibuat sebagai komitmen Indonesia dalam mengikuti era keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan (AEoI) yang dimulai pada 2018 mendatang.
"Anda di BI melalui BI, di OJK, di custodian, BEI, semua ada peranan masing-masing (untuk menggenjot kesadaran perpajakn)," katanya.
Pertukaran informasi keuangan dengan negara lain menurut Sri merupakan solusi tepat agar pemerintah memiliki data lengkap mengenai struktur pajak negeri ini. Apalagi, sebelumnya DPR sempat mendorong pemerintah untuk bisa menaikkan rasio pajak menjadi 13 persen di tahun 2018. Angka sebesar itu, lanjut Sri, bisa dilakukan diwujudkan bila pemerintah benar-benar memahami seluk-beluk pembayar pajak.
"Kalau dipaksa, saya kejar yang informasinya saya punya saja. Artinya, ya saya kejar-kejar ke wajib pajak yang sekarang sudat taat. Apa itu adil? Sangat tidak adil. Sama saja berburu di kebun binatang. Sementara yang lain bisa melakukan penghindaran," katanya.
0 Response to "Sri Mulyani: Bilang "Saya Indonesia, Saya Pancasila" Tapi tak Bayar Pajak"
Post a Comment