Tersentak saya membaca berita di satu media darling, perihal
perbandingan jalan tol sejak era Soeharto hingga Jokowi. Pasalnya,
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum-Perumahan
Rakyat (PU-PR) Endra Saleh Admawidjaja secara tersirat menegaskan
pembangunan jalan tol di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kalah jauh
dari Jokowi.
Endra menegaskan, selama dua periode menjabat, SBY membangun jalan
tol sepanjang 212 km. Sebaliknya, belum genap tiga tahun menjabat,
Jokowi telah mengoperasionalkan 176 km jalan tol, dan diperkirakan
hingga akhir 2017 nanti bakal ada total tambahan 568 km jalan tol di era
Jokowi.
Luarbiasa! Tetapi apa mungkin? Bagaimana bisa pencapaian 10 tahun
kalah jauh dari 3 tahun pemerintahan? Nalar saya menolak informasi ini.
Maka saya putuskan untuk berselancar untuk mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Lantas, saya mengasumsikan ada dua hal besar yang
sebenarnya terjadi.
Pertama, besar kemungkinan ada miss-informasi yang didapatkan Endra.
Pasalnya, data Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum yang
disiarkan pada 17 Oktober 2014, dinyatakan secara jelas pembangunan
prasarana jalan rentang 2004 sampai 2014 telah dilakukan pembangunan
jalan sepanjang 5.190 km, di antaranya adalah 4.770 km jalan non tol
(jalan nasional) dan 420 km jalan tol.
Lantas, mengapa disebut era pemerintahan SBY hanya terbangun 212 km
jalan tol? Mungkinkah panjang jalan tol bisa menyusut dari 420 km pada
2014 menjadi 212 km pada 2017 seperti yang dinyatakan oleh Endra? Besar
dugaan saya ini adalah perkara salah data –dan hal ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru di era pemerintahan Jokowi. Kita sama-sama tahu,
pemerintahan Jokowi adalah masa kepemimpinan yang amat lemah perkara
data, bahkan seringkali jatuh menjadi blunder.
Perkembangan pembangunan jalan di Indonesia periode 1968-2013
Kita tentu masih ingat pidato “teledor” Jokowi dalam forum bisnis di
Hongkong bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah yang ketiga
tertinggi di dunia –yang akhirnya menjadi bahan tertawaan masyarakat
internasional. Atau kehebohan Perpres No. 39 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Perpres No. 68 Tahun 2010 tentang pemberian fasilitas
uang muka bagi pejabat negara pada lembaga negara untuk pembelian
kendaraan perorangan, yang ketika publik memprotes dijawab Jokowi: I don’t read what I sign. Ada
pula polemik Arcandra Tahar yang diangkat sebagai Menteri Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral kendati masih berstatus dwi
kewarganegaraan. Atau perkara remeh-temeh seperti kasus salah ketik nama
lembaga negara hingga prasasti peresmian proyek yang ditandatangi
Presiden.
Rentetan kecolongan ini menggambarkan betapa lemahnya pemerintahan
Jokowi dalam mengolah data dan informasi. Bandingkan dengan pemerintahan
SBY, di mana kasus-kasus “recehan” begini tidak pernah terjadi. Sebab,
SBY amat tegas perkara data dan informasi. Logika SBY kira-kira begini:
bagaimana hendak membangun proyek mercusuar, jika perkara data saja
sudah salah?
Kedua, ada data dan informasi yang disembunyikan oleh Kemen PU-PR. Pasalnya, Endra sendiri menyebut : di era Presiden Jokowi, dalam tiga tahun hingga tahun ini ada 176 km jalan tol yang beroperasi…
Apa maksud “beroperasi” ini? Apakah artinya diresmikan? Jika begitu,
berpotensi besar proyek-proyek jalan tol itu sudah dirintis di era SBY,
tetapi diresmikan di era Jokowi.
Pasalnya, pada periode kedua pemerintahannya, SBY memang mengebut
poyek infrastruktur. Ambil contoh mega proyek jalan tol Trans Sumatera
sepanjang 2.700 km. Kebijakan pemerintah ini ditetapkan dalam Perpres
No. 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera.
Proyek ini termasuk dalam Master Plan Percepatan, Perluasan dan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun pemerintahan SBY pada
tahun 2011.
Rencananya, proyek jalan tol Trans Sumatera ini akan memiliki empat
koridor, yakni : Lampung, Palembang, Pekanbaru, Medan, dan Banda Aceh
sepanjang 460 km (koridor I), Palembang-Bengkulu (koridor II),
Pekanbaru-Padang (koridor III) dan Medan-Sibolga (koridor IV).
Lalu, seusai masa pemerintahan SBY, setiap tahun kita saksikan Jokowi
meresmikan sepotong demi sepotong mega proyek Trans Sumatera ini.
Artinya, peresmian Jokowi itu adalah kelanjutan dari mega proyek yang
telah diinisiasi, dianggarkan dan mulai dilaksanakan semasa pemerintahan
SBY. Jadi, siapa yang sebenarnya paling berjasa dalam pembangunannya?
Perkembangan pembangunan tol Trans Sumatera di era SBY (sumutpos.co)
Begitu pula jalan trans Papua itu. Kendati diklaim oleh pemerintahan
Jokowi, Natalius Pigai, putra asli Papua menyebut Presiden Jokowi telah
melakukan pembohongan publik. Dia menegaskan tidak ada pembukaan ruas
jalan Trans Papua yang membelah gunung dan bukit, yang ada hanya ruas
jalan Wawena-Nduga Papua, itu pun yang dilaksanakan oleh TNI. Saking
jengkelnya, Natalia menantang pemerintah untuk membuka road map perencanaan jika memang proyek itu adalah murni inisiasi Jokowi.
Tak perlu dibuka sebenarnya, karena jalan Trans Papua tersebut
sejatinya adalah program SBY yang masuk dalam koridor Papua -Maluku yang
tertuang dalam program MP3EI. Publik yang tangkas mengamati gebrakan
SBY ini pasti mengetahuinya.
Saya yakin, jika ditelisik lebih lanjut, kasus-kasus ini seperti
fenomena gunung es. Sayangnya, Jokowi tidak sekalipun menyebut bahwa
proyek-poyek mercusuar yang diresmikannya sudah dirintis di era SBY.
Barangkali Jokowi khawatir akan dituding publik sebagai presiden yang
tidak memiliki gagasan “apa-apa”. Kerja Jokowi hanya melanjutkan dan
meresmikan pekerjaan-pekerjaan SBY yang belum rampung?
Terlepas dari apapun alasannya, saya pikir tidak bijak mendegradasi
pencapaian SBY hanya untuk mengejar pencitraan semata. Ini tidak sesusai
dengan budaya Indonesia yang menolak tabiat: memadamkan lampu orang
lain agar lampu kita lebih terang. Sungguh tak bijak.
Oleh: Ridwan Sugianto, pegiat Gerakan Indonesia Emas 2045
Dimuat di politiktoday.com
0 Response to "Polemik Jalan Tol, Skenario Memberangus Cetak Tangan SBY?"
Post a Comment